Cari Blog Ini

Sabtu, 20 Maret 2010

PROBLEM AMANDEMEN UUD 1945 DAN GAGASAN DIBENTUKNYA KOMISI KONSTITUSI

Memperhatikan dan mencermati perkembangan pembahasan amandemen UUD 1945 yang terjadi dalam proses di MPR kita akan mendapatkan berbagai kontroversi dan kesimpangsiuran. Sebagai bagian dari enam visi reformasi tentu proses amandemen merupakan hal yang sangat urgen dan mendasar, sebab konstitusi merupakan norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm) yang merupakan rujukan bagi semua aturan hukum dibawahnya dan sebagai perwujudan kedaulatan rakyat yang didalamnya mengandung keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara yang berupa kumpulan peraturan yang mengatur, membentuk dan memerintah dalam pemerintahan negara (Slamet Efendi Yusuf dan Umar Basalim,2000).
Begitu pentingnya, pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH mengibaratkan konstitusi sebagai "syariat" atau "kepala negara simbolik" atau "kitab suci simbolik" dalam civil religion yang didalamnya menjadi dasar bagi tegaknya negara hukum Indonesia, yang mengandung fungsi sebagai simbol pemersatu (symbol of unity), ungkapan dan keagungan kebangsaan (identity of nation) dan pusat upacara keagamaan (centre of ceremony) (Jimly Asshsiddiqie, 2002).
Karena sangat penting itulah maka tak heran bila perhatian seluruh masyarakat Indonesia tertuju pada gedung MPR yang sedang menggelar perhelatan akbar yang akan menentukan nasib bangsa ke depan. ST MPR RI 2002 membahas suatu hal yang sangat penting, sehingga bila amandemen UUD tak dapat terselesaikan akan menimbulkan berbagai masalah yang akan menjadi "time boom" bagi problem ketatanegaraan Indonesia di masa mendatang. Tak heran bila hampir semua pihak berharap MPR dapat menyelesaikan agendanya, sekalipun banyak hambatan dan friksi di dalamnya. Kekhawatiran terancam gagalnya amandemen keempat, bahkan amandemen sebelumnya ditandai dengan semakin kuatnya "gerilya politik" kelompok anti-amandemen (yang sebagian besar dari F-PDIP, purnawirawan TNI dan Nasionalis tua) semakin menghantui semua komponen bangsa. Bahkan muncul kecurigaan adanya skenario Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945, terlebih lagi hal ini diperkuat oleh sikap politik militer yang menginginkan kembali ke UUD 1945 atau diberlakukannya konstitusi tansisi. Tak heran bila sejak lama banyak pakar Tata Negara telah meramalkan adanya kegagalan amandemen, bahkan Dr. T. Mulya Lubis telah sejak lama menyebut adanya sinyalemen Dekrit dan terjadinya "constitution crisis".

Namun, sekalipun amandemen dapat diselesaikan dan tepat waktu bukan berarti tak ada masalah di dalamnya. Pasalnya, jika diteliti satu persatu kita dapat melihat terdapat banyak sekali kontroversi dan problem yang akan menghambat proses penataan ketatanegaraan Indonesia. Sekedar mengambil contoh, kontroversi mengenai pasal-pasal tentang Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, pasal-pasal mengenai HAM, susunan dan kedudukan MPR dan DPR, Presiden, Pemerintah Daerah, kedudukan DPA, DPD, masalah keuangan negara, kedudukan penjelasan dan sederet permasalahan berkaitan dengan struktur dan konstruksi konstitusi yang masih amburadul. Hal ini bukan hanya karena MPR sebagai pelaku amandemen tidak mampu, karena memang tak memahami isi dari konstitusi serta kerangka konseptual negara yang akan dibangun (state and nation buildings conceptual framework). Tetapi juga karena proses amandemen yang dilakukan oleh politisi cenderung memberikan peluang untuk dimanfaatkan demi kepentingan politik bukan mendasarkan diri pada konsep negara yang akan dibangun.
Secara umum bila dilihat berdasar pada maenstream amandemen konstitusi yang lazim di dunia, terdapat kesalahan, bahkan kesesatan berpikir (fallacies) MPR. Amandemen yang dilakukan sejak awal menggunakan "pola berpikir terbalik", dimana tak mendasarkan pada konsep negara dan pemerintahan apa yang akan diletakkan sebagai dasar dari Indonesia Baru pasca reformasi. Namun mencoba untuk membuat rambu-rambu hal-hal apa saja yang boleh diamandemen, dan hal-hal apa saja yang tak boleh diutak-atik. Akibat dari hal ini belum terlihat ketika amandemen I dan II dilakukan, namun baru disadari ketika amandemen III dan kemudian IV akan diselesaikan. Yang terjadi adalah kesenjangan dan kerancuan antar pasal dan bab, dimana bila tak dilakukan "sinkronisasi" akan menghasilkan konsep pemerintahan yang rancu dan problematis, serta menimbulkan peluang besar adanya bentrokan aatau konflik antar lembaga negara (Kompas, 1 Agustus 2002). Apalagi untuk dapat diterapkan, UUD hasil amandemen sedikitnya memerlukan lebih dari 30-an UU organik yang tentu tak mudah dalam menyusunnya. Maka, bayangan akan porakporandanya (destruction) tatanan ketatanegaraan Indonesia dimasa mendatang telah ada didepan mata. Maka, saya secara pribadi dengan memperhatikan detil masalah dan proses yang terjadi membayangkan adanya krisis konstitusi dan problem ketatanegaraan serius yang akan menghancurkan tatanan bernegara. Hingga akhirnya reformasi yang kita harapkan dan banggakan ini hanya akan menghasilkan "deformasi" dan krisis ketatanegaraan yang lebih meluas.
Jika kita mengambil tesis problem utama saat ini masalah konstitusi, maka harus dicari jalan lain untuk mengatasi berbagai problem diatas. Pilihan dibentuknya Komisi Konstitusi menguat bahkan mulai diakui oleh sebagian anggota MPR, dan sampai sekarang terus diperjuangkan (Kompas, 2 Agustus 2002). Dilihat dari momentumnya sebenarnya telah lewat waktu, jika Komisi Konstitusi dibentuk sesaat setelah Orde Baru jatuh, masih terdapat legitimasi kuat untuk membuat konstitusi rakyat yang demokratis seperti di Thailand, Filipina dan Afrika Selatan. Namun demikian mengingat MPR tak mampu dan kuatnya desakan, maka ide ini dimungkinkan. Hanya yang menjadi perhatian, harus dirumuskan secara jelas dan tegas mengenai tugas dan wewenang, susunan keanggotaannya dan cara pemilihannya.

Setidaknya sampai saat ini terdapat terdapat beberapa versi dari Komisi Konstitusi yang muncul dari berbagai kalangan. Pertama, kalangan Koalisi ORNOP yang menginginkan Komisi ini bertugas untuk membuat Konstitusi baru yang tak harus mengacu (dapat mengabaikan) pada hasil amandemen yang dilakukan MPR. Anggotanya terdiri dari para pakar dan kalangan civil society, yang tak boleh diintervensi oleh MPR. Hasilnya harus disahkan MPR, jika MPR menolak maka menurut para penggagasnya harus diadakan referendum. Kedua, dari pihak MPR yang menyebut Komisi Konstitusi (Komisi Penyelaras) bertugas untuk melakukan tugas penyelarasan atau konsolidasi teks terhadap hasil amandemen, kemudian diserahkan kepada MPR untuk mengesahkannya. Dimana Komisi Konstitusi masih bertanggung jawab kepada MPR. Ketiga, Komisi Konstitusi bertugas melakukan konsolidasi teks, sinkronisasi, penataan dan penyusunan kembali (penataan ulang) hasil amandemen, serta berhak untuk melakukan perubahan atau penambahan dalam rangka penyempurnaan. Selain perdebatan mengenai ketiga versi tersebut, juga masih terdapat perdebatan mengenai masa tugas, waktu berlakunya hasil amandemen, dan mengenai susunan keanggotaannya.
Apapun dari beberapa versi tersebut yang akan menjadi pilihan politik, sangat tergantung dari situasi dan kondisi politik yang terjadi, serta kuatnya tekanan baik dari luar parlemen dan yang lebih penting dari dalam MPR sendiri. Karena bagaimanapun ide ini harus mendapatkan dukungan mayoritas dari MPR, untuk kemudian menuangkannya dalam perubahan pasal 37, Aturaan Peralihan atau dalam Aturan Tambahan. Idealnya memang kita memilih versi pertama, tetapi melihat perilaku MPR yang menunjukkan egoismenya, kita mesti realistis dengan mengharapkan skenario ketiga yang muncul. Kelak, jika hal itu terjadi tugas mahasiswa sebagai penggerak reformasi adalah berperan serta melakukan dorongan politik dan menyalurkan aspirasi seluas-luasnya untuk mendukung tugas dari komisi ini. Karena melalui konstitusilah tatanan Indonesia Baru akan dibentuk sebagai perwujudan dari cita-cita reformasi yang kini semakin salah arah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar