Cari Blog Ini

Senin, 16 Juli 2012

Disaster Management: Perspektif Politik dan Kebijakan



Berbicara Indonesia kini tidak dapat melepaskan diri dari fenomena bencana alam yang kerap melanda, terutama pasca peristiwa Tsunami Aceh di penghujung tahun 2004. Berbagai rentetan bencana alam silih berganti menghujam ibu pertiwi, baik bencana alam besar maupun kecil. Dalam 3 tahun terakhir ini saja, Indonesia telah mengalami berbagai bencana, mulai dari gempa bumi dan tsunami di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara 26 Desember 2004, gempa bumi di Yogyakarta 27 Mei 2006, tsunami di pantai selatan Jawa pada 17 Juli 2006, dan gempa bumi di Bengkulu pada pertengahan tahun 2007, belum lagi ditambah berbagai bencana seperti banjir yang telah menjadi bencana langganan tiap tahun di wilayah-wilayah tertentu. Hal ini dimungkinkan karena secara geografis, Indonesia terletak di kawasan yang rawan terhadap bencana (ring of fire).

Tema “Tantangan Indonesia Membangun Di Tengah Bencana” inilah yang kemudian diangkat dalam Refleksi Akhir Tahun 2007 Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) LIPI. Sri Yanuarti, Kepala Bidang Perkembangan Politik Nasional, menjadi salah satu pembicara mewakili Pusat Penelitian Politik LIPI dengan makalahnya yang berjudul “Disaster Management: Perspektif Politik dan Kebijakan”.


Selama ini, Pemerintah memang telah memberikan respon melalui sistem penanganan bencana yang telah ada. Namun, kemampuan sistem manajemen bencana (disaster management) yang bermuara dari ketidakberdayaan sistem dan prosedur manajemen penanganan bencana pada tingkat nasional hingga daerah masih dipandang lemah. Kita selalu disodorkan fenomena yang sama dalam penanganan bencana alam. Mulai dari keterlambatan bantuan di satu sisi dan menumpuknya bantuan di sisi lain; tidak adanya sistem peringatan dini yang mampu memberikan arahan pada masyarakat apa yang sebaiknya mereka lakukan dalam situasi darurat; janji pemerintah yang tidak pernah terealisasi dengan utuh dalam soal rehabilitasi korban pasca bencana ditambah persoalan korupsi yang hampir selalu menjadi faktor ikutan dalam pengelolaan bencana alam di tanah air.

Dalam makalah hasil refleksi Puslit Politik ini dicatat bahwa Disaster Management terkait dengan empat hal.Pertama, terkait aspek regulasi di mana salah satu faktor yang mengakibatkan tidak efektifnya pengelolaan bencana alam adalah tidak adanya perangkat regulasi ataupun kebijakan terpadu sejenis yang memadai untuk menangani bencana dan pengungsi (disaster management). Kedua, terkait penggunaan militer untuk disaster management yang merupakan pemanfaatan dari kekuatan tentara yang tak tergunakan (idle-capacity). Ketiga, terkait kerjasama sipil-militer (CIMIC/Civil-Military Cooperation) dan aktor internasional. Keempat, terkait potensi pelibatan masyarakat lokal dalam Disaster Risk Management (DRM) atau pengurangan resiko bencana.

Dalam kesimpulannya, Puslit Politik menyatakan bahwa bencana alam yang saat ini muncul, selain disebabkan oleh ulah manusia (man-made disaster) seperti banjir dan tanah longsor, juga disebabkan oleh kesalahan kebijakan politik pemerintah dalam masalah lingkungan seperti pemberian konsesi yang berlebihan dalam eksploitasi hasil hutan. Di samping itu, Pemerintah dan DPR belum memiliki komitmen yang sungguh-sungguh dan genuine dalam menanggulangi ancaman bencana. Hal ini tampak jelas dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. Regulasi yang berkaitan dengan penanganan bencana tersebut belum dapat dioperasionalkan secara efektif dengan melibatkan semua aktor yang bertanggungjawab dalam implementasi. Secara struktural, pengelolaan bencana alam dalam UU Penanggulangan Bencana tersebut masih sentralistik, sementara di sisi lain aktor pengelola bencana di tingkat daerah memiliki fungsi kewenangan yang sangat besar dan memerlukan pengetahuan mengenai disaster management sebagai kewajiban negara untuk melindungi keselamatan warga. Di samping itu, UU tersebut masih mensyaratkan sejumlah keputusan presiden dan peraturan daerah yang harus segera diselesaikan. Hal ini berpeluang untuk menimbulkan komplikasi proses pengambilan keputusan dengan adanya kebijakan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Puslit Politik juga mencatat bahwa penggunaan militer (TNI) diperlukan untuk bantuan penanggulangan bencana karena keunggulan pada kemampuan teknisnya. Pelibatan militer tersebut merupakan pemanfaatan dari idle-capacity sehingga tidak mengurangi kekuatan untuk tugas utama dan didasarkan atas keputusan otoritas politik. Kekacauan penanganan bencana yang selama ini terus menerus terulang disebabkan oleh kurangnya koordinasi di satu pihak dan alur birokrasi yang begitu panjang sebagai politics as usual di pihak lain. Sebagai akibatnya, pengelolaan bencana alam semata-mata didasarkan atas pendekatan proyek. Hal ini ditambah dengan kenyataan bahwa pengelolaan dan alokasi dana bantuan untuk bencana, baik yang berasal dari internasional maupun domestik, banyak yang kurang tepat sasaran terhadap kebutuhan di lapangan.

Sebagai rekomendasi, Puslit Politik merangkumnya dalam enam poin penting. Pertama, harus dibuat regulasi yang lebih operasional dengan pembagian wewenang yang jelas di antara para aktor yang terlibat dalam penanganan bencana. Kedua, diperlukan kebijakan yang bersifat darurat dengan memangkas jalur birokrasi dalam penanganan bencana alam. Ketiga, pemerintah daerah perlu segera membuat dan menerbitkan peraturan daerah (Perda) yang terkait dengan penanggulangan bencana, sementara pemerintah pusat membuat standardisasi isi Perda. Keempat, pemerintah pusat harus segera membuat PP (Peraturan Pemerintah) tentang tugas perbantuan TNI yang terkait dengan penanggulangan bencana. Kelima, transparansi pengelolaan dan penggunaan dana bantuan bencana melalui auditor independen dan diumumkan secara publik. Keenam, pemerintah harus mempertimbangkan faktor keseimbangan lingkungan dalam semua aspek kebijakan pembangunan, termasuk di dalamnya memberikan akses kepada masyarakat terkait dengan kebijakan tata ruang, baik dalam proses perencanaan maupun kontrol atas implementasi kebijakan tersebut. (Lidya C. Sinaga)

1 komentar: