Berbicara Indonesia kini tidak dapat melepaskan diri
dari fenomena bencana alam yang kerap melanda, terutama pasca peristiwa
Tsunami Aceh di penghujung tahun 2004. Berbagai rentetan bencana alam silih
berganti menghujam ibu pertiwi, baik bencana alam besar maupun kecil. Dalam 3
tahun terakhir ini saja, Indonesia telah mengalami berbagai bencana, mulai
dari gempa bumi dan tsunami di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera
Utara 26 Desember 2004, gempa bumi di Yogyakarta 27 Mei 2006, tsunami di
pantai selatan Jawa pada 17 Juli 2006, dan gempa bumi di Bengkulu pada pertengahan
tahun 2007, belum lagi ditambah berbagai bencana seperti banjir yang telah
menjadi bencana langganan tiap tahun di wilayah-wilayah tertentu. Hal ini
dimungkinkan karena secara geografis, Indonesia terletak di kawasan yang
rawan terhadap bencana (ring of fire).
Tema “Tantangan Indonesia Membangun Di Tengah
Bencana” inilah yang kemudian diangkat dalam Refleksi Akhir Tahun 2007
Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) LIPI. Sri Yanuarti,
Kepala Bidang Perkembangan Politik Nasional, menjadi salah satu pembicara
mewakili Pusat Penelitian Politik LIPI dengan makalahnya yang berjudul
“Disaster Management: Perspektif Politik dan Kebijakan”.
Selama ini, Pemerintah memang telah memberikan respon melalui sistem
penanganan bencana yang telah ada. Namun, kemampuan sistem manajemen bencana
(disaster management) yang bermuara dari ketidakberdayaan sistem dan prosedur
manajemen penanganan bencana pada tingkat nasional hingga daerah masih
dipandang lemah. Kita selalu disodorkan fenomena yang sama dalam penanganan
bencana alam. Mulai dari keterlambatan bantuan di satu sisi dan menumpuknya
bantuan di sisi lain; tidak adanya sistem peringatan dini yang mampu
memberikan arahan pada masyarakat apa yang sebaiknya mereka lakukan dalam
situasi darurat; janji pemerintah yang tidak pernah terealisasi dengan utuh
dalam soal rehabilitasi korban pasca bencana ditambah persoalan korupsi yang
hampir selalu menjadi faktor ikutan dalam pengelolaan bencana alam di tanah
air.
Dalam makalah hasil refleksi Puslit Politik ini dicatat bahwa Disaster
Management terkait dengan empat hal.Pertama, terkait aspek regulasi di mana
salah satu faktor yang mengakibatkan tidak efektifnya pengelolaan bencana
alam adalah tidak adanya perangkat regulasi ataupun kebijakan terpadu sejenis
yang memadai untuk menangani bencana dan pengungsi (disaster management).
Kedua, terkait penggunaan militer untuk disaster management yang merupakan
pemanfaatan dari kekuatan tentara yang tak tergunakan (idle-capacity).
Ketiga, terkait kerjasama sipil-militer (CIMIC/Civil-Military Cooperation)
dan aktor internasional. Keempat, terkait potensi pelibatan masyarakat lokal
dalam Disaster Risk Management (DRM) atau pengurangan resiko bencana.
Dalam kesimpulannya, Puslit Politik menyatakan bahwa bencana alam yang saat
ini muncul, selain disebabkan oleh ulah manusia (man-made disaster) seperti
banjir dan tanah longsor, juga disebabkan oleh kesalahan kebijakan politik
pemerintah dalam masalah lingkungan seperti pemberian konsesi yang berlebihan
dalam eksploitasi hasil hutan. Di samping itu, Pemerintah dan DPR belum
memiliki komitmen yang sungguh-sungguh dan genuine dalam menanggulangi
ancaman bencana. Hal ini tampak jelas dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang
penanggulangan bencana. Regulasi yang berkaitan dengan penanganan bencana
tersebut belum dapat dioperasionalkan secara efektif dengan melibatkan semua
aktor yang bertanggungjawab dalam implementasi. Secara struktural,
pengelolaan bencana alam dalam UU Penanggulangan Bencana tersebut masih
sentralistik, sementara di sisi lain aktor pengelola bencana di tingkat
daerah memiliki fungsi kewenangan yang sangat besar dan memerlukan
pengetahuan mengenai disaster management sebagai kewajiban negara untuk
melindungi keselamatan warga. Di samping itu, UU tersebut masih mensyaratkan
sejumlah keputusan presiden dan peraturan daerah yang harus segera
diselesaikan. Hal ini berpeluang untuk menimbulkan komplikasi proses
pengambilan keputusan dengan adanya kebijakan yang berbeda antara satu daerah
dengan daerah lainnya.
Puslit Politik juga mencatat bahwa penggunaan militer (TNI) diperlukan untuk
bantuan penanggulangan bencana karena keunggulan pada kemampuan teknisnya.
Pelibatan militer tersebut merupakan pemanfaatan dari idle-capacity sehingga
tidak mengurangi kekuatan untuk tugas utama dan didasarkan atas keputusan
otoritas politik. Kekacauan penanganan bencana yang selama ini terus menerus
terulang disebabkan oleh kurangnya koordinasi di satu pihak dan alur
birokrasi yang begitu panjang sebagai politics as usual di pihak lain. Sebagai
akibatnya, pengelolaan bencana alam semata-mata didasarkan atas pendekatan
proyek. Hal ini ditambah dengan kenyataan bahwa pengelolaan dan alokasi dana
bantuan untuk bencana, baik yang berasal dari internasional maupun domestik,
banyak yang kurang tepat sasaran terhadap kebutuhan di lapangan.
Sebagai rekomendasi, Puslit Politik merangkumnya dalam enam poin penting.
Pertama, harus dibuat regulasi yang lebih operasional dengan pembagian
wewenang yang jelas di antara para aktor yang terlibat dalam penanganan
bencana. Kedua, diperlukan kebijakan yang bersifat darurat dengan memangkas
jalur birokrasi dalam penanganan bencana alam. Ketiga, pemerintah daerah
perlu segera membuat dan menerbitkan peraturan daerah (Perda) yang terkait
dengan penanggulangan bencana, sementara pemerintah pusat membuat
standardisasi isi Perda. Keempat, pemerintah pusat harus segera membuat PP
(Peraturan Pemerintah) tentang tugas perbantuan TNI yang terkait dengan
penanggulangan bencana. Kelima, transparansi pengelolaan dan penggunaan dana
bantuan bencana melalui auditor independen dan diumumkan secara publik.
Keenam, pemerintah harus mempertimbangkan faktor keseimbangan lingkungan
dalam semua aspek kebijakan pembangunan, termasuk di dalamnya memberikan
akses kepada masyarakat terkait dengan kebijakan tata ruang, baik dalam
proses perencanaan maupun kontrol atas implementasi kebijakan tersebut. (Lidya
C. Sinaga)
|
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus