Cari Blog Ini

Selasa, 22 November 2011

KETAHANAN PANGAN BURUK MENJADIKAN NEGARA INDONESIA SEBAGAI NEGARA PENGIMPOR BERAS


Sebagai bangsa besar yang dikenal sebagai negara agraris, swasembada beras merupakan sebuah kewajiban untuk diwujudkan tanpa boleh ditawar lagi. Selama ini Indonesia selalu bergantung pada negara lain untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional. Dalam sejarah negara Indonesia hanya pernah dua kali mencapai swasembada beras yaitu pada tahun 1984, ini menunjukan sebuah prestasi yang pernah di capai indonesia dalam mencukupi kebutuhan pangan rakyat, namun prestasi itu tidak berlangsung lama karena kebijakan pemerintah yang salah arah menyebabkan ketergantungan pangan dari impor. Sungguh ironis sebagai negara besar yang mempunyai predikat sebagai negara agraris setiap tahunnya harus mengandalkan negara lain untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Kewajiban untuk mencapai swasembada beras bukan hanya pada petani, akan tetapi pihak akademisi dan pemerintah juga dituntut kinerjanya untuk mengembangkan dunia pertanian. Ada banyak cara yang dapat ditempuh agar tercapai swasembada beras secara berkesinambungan.
Pemerintah tidak boleh secara sepihak membuat kebijakan, harus ada mediasi terlebih dahulu dengan pihak akademisi sebagai konsultan dan petani sebagai aktor utama agar tidak terjadi lagi kesalahpahaman antar ketiganya. Swasembada beras bukanlah hal yang mustahil apabila ada keseriusan dari semua pihak bahkan kita harus mempunyai visi yang jauh kedepan bahkan kita tidak hanya dapat mewujudkan swasembada beras tetapi juga dapat menjadi negara pengekspor beras. Dengan dukungan teknologi dan infrastruktur yang ada dan dengan melihat banyak peluang maka tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai swasembada yang berkesinambungan. Dan satu hal yang perlu ditekankan sekali lagi bahwa swasembada tidak berarti apa-apa apabila petani tetap menderita dalam kemiskinan karena tujuan akhir dari swasembada adalah sejahteranya petani dan mereka mampu berdikari.
Luas lahan pertanian Indonesia keseluruhan yang sekitar 21 juta hektar hanya sama dengan luas lahan kedelai yang ada di Brasil dengan jumlah penduduk 184.101.109 jiwa yang lebih kecil dari Indonesia (231.995.992), luas sawah Indonesia sama dengan luas lahan tebu di Brasil, sementara luas ladang penggembalaan sapi di Brasil (220 juta hektar) lebih luas dari seluruh daratan di Indonesia (190 juta hektar) dan Vietnam saja yang menjadi langganan impor beras Indonesia hanya memiliki luas 329.560 km². Dengan kondisi lahan yang ada, realistiskah Indonesia harus memenuhi semua kebutuhan kita dari produksi dalam negeri.
Lalu, bagaimana dengan swasembada yang harus kita capai dengan tenggat waktu semakin dekat? Pendapat publik yang menyatakan lahan kita subur gemah ripah loh jinawi itu memang benar, tetapi itu tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan semua komoditas. Lahan subur untuk memproduksi komoditas pangan sebagian besar ada di Jawa dan saat ini keberadaannya terus menciut akibat alih fungsi lahan yang kurang terkendali. Jika tidak ada koreksi terhadap perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah akan mengorbankan lahan sawah subur 3,1 juta hektar, 1,67 juta hektar terjadi di Jawa dan Bali, sehingga kontribusi Jawa dalam produksi padi yang saat ini mencapai 60 persen dipastikan akan terganggu. Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana memenuhi target swasembada beras dengan situasi alih fungsi dan kembali kompetisi penggunaan lahan yang luar biasa ini
Sementara itu di pasar dunia, harga beras impor cenderung menurun dengan pelepasan stok yang cukup besar dari negara-negara produsen. Dengan lemahnya pengawasan terhadap impor, terjadi pemasukan impor beras ilegal yang tidak terkendali dengan harga yang lebih murah dibanding Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP). Rendahnya harga beras di pasar dalam negeri dan terbatasnya kemampuan BULOG untuk menyerap kelebihan pasar (marketed surplus) mengakibatkan petani tidak lagi menikmati besarnya pendapatan yang sejalan dengan kenaikan harga-harga input produksinya. Beras impor telah menjadi penentu harga beras yang dominan. Dengan demikian, pasar yang diandalkan oleh petani adalah pengadaan BULOG. Namun BULOG sebagai institusi yang diperintahkan untuk mengamankan HDPP, mempunyai keterbatasan untuk membeli karena kecilnya penyaluran/outlet untuk beras yang ada di gudang BULOG.
Belajar dari pengalaman masa lalu, pendekatan pembangunan pertanian dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dapat ditempuh melalui pendayagunaan keunggulan komparatif menjadi keunggulan bersaing dengan merancang pembangunan pertanian yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri dan sistem agribisnis di mana pertanian, industri hulu pertanian, industri hilir pertanian serta sektor yang menyediakan jasa yang diperlukan, dikembangkan secara simultan dan harmonis.
Dengan perkataan lain, dengan menempatkan pembangunan pertanian sebagai penggerak utama pembangunan ekonomi nasional (agricultural-led development) maka persoalan ekonomi Indonesia saat ini seperti pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, peningkatan devisa, pemerataan, percepatan pembangunan ekonomi daerah, membangun ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan hidup, akan dapat dipecahkan sekaligus dan berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar