Cari Blog Ini

Senin, 07 November 2011

Pandangan terhadap Budaya Flores


Pualu Flores adalah pulau yang berada di deretan kepulauan dari Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau Flores berada di Kepulauan Flores yang dikelilingi oleh Pulau Komodo, Rinca, Ende, Solor, Adonare dan Lomblem.Penduduk Flores bukan merupakan satu suku bangsa dengan satu kebudayaan yang seragam.di pulau itu ada delapan suku bangsa yang memiliki logat bahasa yang berbeda-beda. Kedelapan suku bangsa tersebut yaitu (1) Orang Manggarai; (2) Orang Riung; (3) Orang Ngada; (4) Orang Nagekeo; (5) Orang Ende; (6) Orang Lio; (7) Orang Sikka: (8) Orang Larantuka.
Kebudayaan suku bangsa tersebut paling besar adala Orang Manggarai jika dibandingkan dengan kebudayaan yang lainnya. Terutama jika dilihat dari segi fisiknya yang lebih benyak menunjukkan cirri-ciri Mongoloid-Melayu. 
Menurut sensus penduduk tahun 1930 Penduduk Flores berjumlah kurang lebih 500 ribu orang, sedangkan sensus penduduk tahun 1961 di Kepulauan Flores sendiri berjumlah dua juta orang. Hal ini menandakan bahwa Penduduk di Flores belum banyak bertambah dan diantara suku bangsa tersebut yang paling banyak penduduknya adalah di orang Manggarai yang berjumlah 250.000 jiwa. Hal ini menandakan bahwa persebaran penduduk di Pulau Flores kurang merata, mungkin karena terhalang sub-sub kebudayaan itu sendiri.
Desa-desa di Flores pada zaman dahulu biasanya dibangun di atas bukit karena untuk pertahanan. Pola perkampungannya terdiri dari tiga bagian yaitu bagian depan tengah dan belakang yang semuanya berada dalam satu lingkaran desa tersebut..tetapi, pada sekarang ini susunan dari pola tersebut tidak lagi diperhatikan oleh para penduduk. Dulu tiap-tiap bagian dari rumah ada tempat-tempat keramat yang berupa timbunan batu-batu besar. Namun saying disayangkan apabila sekarang ini hanya ada satu tempat keramat dalam sebuah desa. Itupun berada di lapangan terbuka yang dekat dengan balai desa dan biasa disebut dengan mbaru gendang Karena didalamnya terdapat sebuah genderang yang keramat.
Di desa-desa itu dikelilingi dengan pagar dari bamboo yang tingginya mencapaitiga meter dan pada pagar itu ditumbuhi semak belukar yang berduri. Karena pengaruh dari luar, banyak penduduk yang membangun desa di kaki bukit dan jarang sekali adnya pagar dari bambu, bahkan desa yang berbentuk lingkaran sudah ditinggalkan oleh para penduduk.
Mata pencaharian yang utama bagi penduduk di Flores adalah tanam ladang. Sebuah keluarga yang besar memulai kegiatan ini dari membuka lahan, membersikan belukar, menebang pohon-pohon dan membakar sisia-sisa pohon. Sebagai batas lahan, mereka menggunakan potongan-potongan pohon tersebut. Karena batas antara lahan yang satu dengan yang lainnya hanya dari batang pohon yang ditancapkan hal ini sangat memungkinkan terjadinya salah paham antara keduanya.
Walaupuan Pemerintah sudah menganjurkan system irigasi sawah-sawah kepada penduduk, tapi masih banyk dari mereka yang bercocok dengan tanam lading. Mata pencaharian yang lain adalah beternak. Binatang peliharaan yang penting adalah kerbau. Tetapi kerbau di sini hanya digunakan sebagai mas kawin dalam pernikahan dan disembelih untuk upacara adapt. Padahal bila dimanfaatkan secara ekonomis akan menghasilkan pendapatan yang lebih dari lumayan. Binatang yang lainnya adalah kuda. Kuda dimanfaatkan untuk membawa bawaan dan setelah selesai hanya dilepaskan begiru saja dan apabila ingin menggunakannya lagi mereka akan mengambilnya.
Perkawinan di pedesaan manggarai biasanya terjadi akibat dari pacaran. Dalam suatu perkawinan, pihak wanita akan meminta mas kawin yang banyak dan bernilai besar. Sungguh kasihan bagi pria yang ingin meminang seorang wanita tetapi tidak mempunyai harta yang banyak. Hubungan dalam perkawinan terdapat dua pihak. Yaitu pihak pemuda sebagai penerima gadis  (anak wina) dan pihak pemudi sebagai pemberi gadis ( anak rona ). Yang mengherankan dalam suatu perkawinan di Flores adalah adanya kawin lari atau kawin rook. Yang seperti ini terjadi karena dari pihak pria tidak mau memberi mas kawin yang besar dan terlebih lagi juga priayang membawa lari si gadis tidak disetujui oleh pihak orang tua. Yang anehnya lagi pernikahan ini bisa terjadi setelah pihak orang tua setuju meskipun masih marah dan mas kawin yang diminta tidak diberikan. Dalam peristiwa seperti ini, lamaran terjadi setelah wanita di bawa lari oleh pria.
Ada juga perkawinan duluk. Perkawinan seperti ini terjadi apabila pihak pria yang ingin menikahi wanita idamannya tidak mau membayar mas kawin yang diinginkan pihak wanita. Maka terllebih dulu si pria harus bekerja untuk orang tua dari wanita idamannya untuk waktu yang tidak sebentar. Tetapi setelah pihak pria bekerja pada oran tua mempelai wanita rasanya pria itu hanya seorang yang biasanya dan dirasa akan sulit untuk memenuhi kebutuhan keluarganya kelak dan munkin saja dari pihak wanita sendiri akan membatalkan pernikahan itu.
Kelompok kekerabatan di Manggari yang paling kecil dan yang berfungsi paling intensif dalam kehidupan sehari-hari adalah keluarga luas yang virilokal ( kilo ) atau orang Ngada biasa mnyebut sipopali. Sebagian besar kilo biasannya merasakan diri terikat pada patrilineal sebagai keturunan dari seorang nenek moyang kira-kira lima sampai enam generasi keatas. Suatu klen kecil atau minimal lineage di Manggarai disebut panga dan di Ngada disebut ilibhou.
Ponga dan ilibhou menjadi bagian dari klem-klen yang lebih besar, ialah wa’u di Manggarai dan woe di Ngada. Dulu wa’u dan woe membanggakan diri suatu komplek unsur-unsur adapt istiadat dan system upacara yang khas. Diantara mereka ada yang memiliki lambing binatang atautotem yang mereka junjung tinggi. Sekarang sebagian besar dari unsur-unsur adapt istiadat, upacara-upacara dan lambing-lambang totem yang khas sudah banyak hilang bahkan dilupakan.
Sejak abad ke-17, waktu kerajaan bima dari sumbawa timur, menguasai bagian utara dari Flores Barat dan pada tahun 1762 kerajaan bima mampu menguasai orang manggarai Selatan bahkan setelah bertahun-tahun Bima mampu menguasai kerajaan Manggarai asli. Kemudiaan pada awal abad ke-19 pengaru dan kekuasaan orang Bima mundur karena bencana alam yang hebat. Karena terjebak dengan bantuan Belanda yang memberikan bantuan kerajaan Manggari untuk memberontak kepada Bima maka setelah kerajaan Manggarai berhasil dikuasai kembali maka belanda dengan cepat menjadikan Manggari sebagai daerah jajahannya.
Dalam masyarakat  sub-sub suku bangsa di Flores mempunyai system stratifikasi social kuno yang terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan orang kraeng yang terdiri dari para bangsawan dan orang yang mempunyai kekuasaan, lapisan orang ata lehe yaitu lapisan orang biasa seperti petani dan pedagang  dan yang terakhir adalah lapisan orang budak yaitu orang yang ditangkap dalam peperangan, orang yang mempunyai hutang dan tidak mampu membayarnya dan orang yang mendapatkan hukuman menjadi budak.
Dewasa ini pendidikan sekolah telah menimbulkan suatu lapisan social baru sperti orang-orang pegawai, guru atau pendeta. Dai inilah yang mempengaruhi system stratifikasi di daerah Flores.
Kepercayaan di Flores tdaklah sama. Sebagian orang Manggarai beragama Katholik, sebagian lagi beragama Islam, ada juga yang menganut religi manggarai asli, meskipun sebagian besar menganut Katholik dan mereka belum melepaskan adapt istiadat keagamaan yang meskipun kadang kala bertentangan dengan agama mereka masing-masing sebenarnya. Dengan beragam kepercayaan dan dongeng-dongeng religi yang mereka miliki dan itu pada dasarnya berbeda di tiap-tiap suku bangsa di Flores sangat memungkinkan dengan terjadinya konflik agama antara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lainnya.
Pulau Flores mempunyai hambatan-hambatan dalam melakukan pembangunan. Adapun hambatan-hambatun itu antara lain  :
  • Tanah di Pulau Flores tidak subur, miskin akan sumber alamnya dan iklim di sana sangat kering;
  • Daerahnya masih banyak yang terisolasi dan hubungan antara masyarakatnya kurang bejalan dengan baik;
  • Adanya berbagai suku bangsa dengan bahasa yang berbeda-beda;
  • Sikap mental dari para penduduk yang masih terikat penuh oleh adapt istiadat kuno.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar